Sabtu, 05 Mei 2012

Banding Perkara Perdata

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Dasar Hukum pengajuan Upaya Hukum Banding mula-mula diatur dalam ps 188 s/d 294 HIR. Tetapi dengan adanya ps 3 jo 5 UUDar 1/1951, pasal – pasal tersebut tidak berlaku lagi, yang sekarang berlaku adalah UU No. 20/1947 untuk jawa madura dan ps 199 s/d 205 Rbg untuk daerah luar jawa dan madura. Bagi para pihak yang tidak puas dengan putusan hakim dapat mengajukan upaya hukum banding. Lazimnya yang mengajukan banding adalah pihak yang dikalahkan. Dalam perkara banding ini timbul istilah Pembanding bagi yang mengajukan banding sedangkan lawannya dinamakan Terbanding. Pernyataan banding ini harus diajukan dalam jangka waktu 14 hari terhitung mulai sehari setelah tanggal putusan hakim (pasal 7 UU No. 20/1947, 199 Rbg) atau diberitahukannya putusan kepada pihak yang bersangkutan.
Pihak yang mengajukan banding (Pembanding) harus mengajukan memori banding yang kemudian ditanggapi oleh pihak lawan (Terbanding) dengan mengirimkan kontra memori banding. Pengiriman memori banding dan kontra memori banding yang ditujukan kepada ketua pengadilan tinggi dikirimkan lewat Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dulu memutuskan perkara yang bersangkutan. Perlu diketahui pula bahwa dalam memori dan kontra memori banding disebutkan kedudukan para pihak sewaktu berperkara di Pengadilan Negeri misalnya pihak Penggugat yang mengajukan banding, maka ia menyebut dirinya sebagai “Pembanding semula Penggugat” dan lawannya disebut “Terbanding semula Tergugat” bila yang mengajukan banding pihak Tergugat maka ia menyebutkan dirinya sebagai “Pembanding semula Tergugat” dan lawannya disebut “ Terbanding semula Penggugat”
Hasil sidang banding tersebut merupakan putusan Pengadilan Tinggi yang amarnya dapat berupa :
1.     menguatkan putusan Pengadilan Negeri
2.     membatalkan putusan Pengadilan Negeri
3.      mengadili sendiri
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Peraturan Tentang Banding

v Dasar Hukum dan Tentang Banding
Upaya hukum banding diadakan oleh pembuat undang-undang karena dikhawatirkan bahwa hakim yang adalah manusia biasa membuat kesalahan dalam menjatuhkan keputusan. Karena itu dibuka kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding kepada pengadilan tinggi[1]. Menurut ketentuan pasal 3 UU darurat No. 1 tahun 1951 peraturan hukum acara perdata untuk pemeriksaan ulangan atau banding pada pengadilan tinggi adalah peraturan-peraturan tinggi dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu. Peraturan-peraturan yang digunakan dalam daerah RI dahulu adalah:
1.     untuk pemeriksaan ulangan atau banding perkara perdata buat pengadilan tinggi di Jawa dan Madura adalah undang-undang No. 20 Tahun 1947.
2.     untuk pemeriksaan ulangan atau banding perkara perdata buat pengadilan tinggi  di luar Jawa dan Madura adalah rechtsterglement voor debuitengewesten (RBG) pasal 199-205.
Syarat untuk dapat dimintakan banding bagi perkara yang telah diputus oleh pengadilan dapat dilihat dalam pasal 6 UU No.20/1947 yang menerangkan, apabila besarnya nilai gugat dari perkara yang telah diputus itu lebih dari Rp.100,- atau kurang. Oleh salah satu pihak dari pihak-pihak yang berkepentingan dapat diminta supaya pemeriksaan itu diulangi oleh pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing. Dasar hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan. Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947).
Urutan banding menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabut ketentuan pasal 188-194 HIR, yaitu:
1.      ada pernyataan ingin banding
2.      panitera membuat akta banding
3.      dicatat dalam register induk perkara
4.      pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama 14 hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat.
5.     pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat mengajukan kontra memori banding.

B.   Syarat Dan Prosedur Banding

v  Permohonan Banding
Permohonan banding dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diucapkan, atau setelah diberitahukan, dalam hal putusan tersebut diucapkan diluar hadir. Terhadap permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut diatas, tetap dapat diterima dan dicatat dengan membuat surat keterangan Panitera, bahwa permohonan banding telah lampau. Pernyataan banding dapat diterima, apabila panjar biaya perkara banding yang ditentukan dalam SKUM oleh Meja Pertama, telah dibayar lunas.Apabila panjar biaya banding yang telah dibayar lunas, maka Pengadilan wajib membuat akta pernyataan band ing, dan mencatat permohonan banding tersebut dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding.
Permohonan banding dalam waktu 7 (tujuh) hari harus telah disampaikan kepada lawannya. Tanggal penerimaan memori dan kontra memori band ing harus dicatat, dan salinannya disampaikan kepada masing-masing lawannya, dengan membuat relas pemberitahuan/ penyerahannya. Sebelum berkas perkara dikirim ke Pengadilan Tinggi, harus diberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk mempelajari/memeriksa berkas perkara (inzage) dan dituangkan dalam akta.
Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan banding diajukan, berkas banding berupa berkas A dan B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi. Biaya perkara banding untuk Pengadilan Tinggi harus disampaikan melalui Bank Pemerintah atau Kantor Pos, dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim bersamaan dengan pengiriman berkas yang bersangkutan[2]. Dalam menentukan biaya banding harus diperhitungkan:
a.       biaya pencatatan pernyataan banding,
b.      besarnya biaya banding yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi,
c.       biaya pengiriman uang melalui Bank/Kantor Pos,
d.      ongkos kirim berkas,
e.       biaya pemberitahuan, berupa:
a)      biaya pemberitahuan akta banding.
b)      biaya pemberitahuan memori banding.
c)      biaya pemberitahuan kontra memori banding.
d)     biaya pemberitahuan memeriksa berkas bagi pembanding.
e)      biaya pemberitahuan memeriksa berkas bagi terbanding.
f)       biaya pemberitahuan bunyi putusan bagi pembanding.
g)      biaya pemberitahuan bunyi putusan bagi terbanding.
v    Pendaftaran Banding
1.      Berkas perkara diserahkan pada Panitera Muda Perdata sebagai petugas pada  meja/loket pertama, yang menerima pendaftaran terhadap permohonan banding.
2.      Permohonan banding dapat diajukan di kepaniteraan pengadilan negeri dalam waktu 14 hari kalender terhitung keesokan harinya setelah putusan diucapkan atau setelah diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir dalam pembacaan putusan. Apabila hari ke 14 jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 jatuh pada hari kerja berikutnya.
3.      Terhadap permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut di atas tetap dapat diterima dan dicatat dengan membuat surat keterangan panitera bahwa permohonan banding telah lampau.
4.      Panjar biaya banding dituangkan dalam SKUM, dengan peruntukan:
1)      Biaya pencatatan pernyataan banding.
2)      Biaya banding yang ditetapkan oleh ketua pengadilan tinggi ditambah biaya pengiriman ke rekening pengadilan tinggi.
3)      Ongkos pengiriman berkas
4)      Biaya pemberitahuan (BP)
5.      SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dibuat dalam rangkap tiga:
1)      lembar pertama untuk pemohon.
2)      lembar kedua untuk kasir
3)      lembar ketiga untuk dilampirkan dalam berkas permohonan.
6.      Menyerahkan berkas permohonan banding yang dilengkapi dengan SKUM kepada yang pihak bersangkutan agar membayar uang panjar yang tercantum dalam SKUM kepada pemegang kas pengadilan negeri.
7.      Pemegang kas setelah menerima pembayaran menandatangani, membubuhkan cap stempel lunas pada SKUM.
8.      Pemegang kas kemudian membukukan uang panjar biaya perkara sebagaimana tercantum dalam SKUM pada buku jurnal keuangan perkara.
9.      Pernyataan banding dapat diterima apabila panjar biaya perkara banding yang ditentukan dalam SKUM oleh meja pertama telah dibayar lunas.
10.   Apabila panjar biaya banding yang telah dibayar tunas maka pengadilan wajib membuat akta pemyataan banding dan mencatat permohonan banding tersebut dalam register induk perkara perdata dan register permohonan banding.
11.  Permohonan banding dalam waktu 7 hari kalender harus telah disampaikan kepada lawannya, tanpa perlu menunggu diterimanya memori banding.
12.  Tanggal penerimaan memori dan kontra memori banding harus dicatat dalam buku register induk perkara perdata dan register permohonan banding, kemudian salinannya disampaikan kepada masing- masing lawannya dengan membuatrelaaspemberitahuan/penyerahannya.
13.  Sebelum berkas perkara dikirim ke pengadilan tinggi harus diberikan kesempatan kepada kedua belah untuk mempelajari/memeriksa berkas perkara (inzage) dan  dituangkan dalam Relaas.
14.  Dalam waktu 30 hari sejak permohonan banding diajukan, berkas banding berupa berkas A dan B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi.
15.  Biaya perkara banding untuk pengadilan tinggi harus disampaikan melalui Bank pemerintah/kantor pos, dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim bersamaan dengan pengiriman berkas yang bersangkutan.
16.  Pencabutan permohonan banding diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani oleh pembanding (harus diketahui oleh prinsipal apabila permohonan banding diajukan oleh kuasanya) dengan menyertakan akta panitera.
17.  Pencabutan permohonan banding harus segera dikirim oleh Panitera ke Pengadilan Tinggi disertai akta pencabutan yang ditandatangani oleh Panitera.


C.    Pemeriksaan Pada Tingkat Banding

Ø  Pasal 339
Pemeriksaan dalam tingkat banding dimulai dengan suatu pemanggilan untuk menghadap di sidang yang bentuk dan caranya sama dengan  pemeriksaan dalam tingkat pertama tanpa harus menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar permohonan banding maupun tanpa harus melampirkan turunan-turunan surat-surat anding maupun tanpa harus melampirkan turunan-turunan surat-surat ang bersangkutan, kecuali dalam hal pemanggilan itu mengandung tuntutan baru yang diperbolehkan oleh Pasal 344. Semua itu diberitahukan dengan cara yang sama.
Pasal 10 alinea terakhir berlaku juga bagi penggugat pembanding. Surat permohonan yang bersangkutan harus disampaikan ke paniteraan H.G.H. sebelum jangka waktu yang ditentukan habis.
Hari pengajuan surat permohonan berlaku sebagai hari permulaan pemeriksaan tingkat banding dan dicatat oleh panitera H.G.H. dalam surat permohonan tersebut dan kemudian segera dengan surat tercatat diberitahukan kepada pihak terbanding.
H.G.H. tidak akan memperhatikan permohonan banding tersebut jika tidak diajukan dalam jangka waktu seperti tersebut dalam alinea kedua kepada panitera.
Ketentuan-ketentuan dalam Bagian 7 Bab 1 buku ini berlaku juga dalam tingkat banding.
http://pt-bandung.go.id/uploads/kp_perdata.pppptb.png
      
D.   Putusan Pengadilan Banding
Putusan Pengadilan dibedakan  atas 2 (dua) macam (Pasal 185 ayat (1) HIR/Pasal 196 ayat (1) RBg), yaitu putusan sela (tussenvonnis) dan putusan akhir (eindvonnis).
1.      Putusan Sela
Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Misalnya, putusan sela Pengadilan Negeri  terhadap eksepsi mengenai tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara.
Dalam Pasal 190 ayat (1) HIR/Pasal 201 ayat (1) RBg menentukan bahwa :
“Putusan sela hanya dapat dimintakan  banding bersama-sama permintaan banding terhadap putusan akhir”
Dalam Hukum Acara Perdata dikenal beberapa putusan sela, yaitu preparatoir, interlocutoir, incidentieel, dan provisioneel.
·         Putusan preparatoir adalah putusan persidangan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan  segala sesuatu  guna mengadakan putusan akhir. Misalnya, putusan untuk menolak pengunduran pemeriksaan saksi.
·         Putusan interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian. Misalnya putusan untuk memeriksa saksi atau pemeriksaan setempat. Karena putusan ini menyangkut masalah pembuktian, maka putusan interlocutoir akan mempengaruhi putusan akhir
·         Putusan incidentieel adalah putusan yang berhubungan dengan insident, yaitu peristiwa yang menghentikan  prosedur peradilan biasa. Putusan inipun belum berhubungan dengan pokok perkara, seperti putusan yang membolehkan seseorang ikut serta dalam suatu perkara (vrijwaring, voeging, dan tussenkomst)
·         Putusan provisioneel adalah putusan  yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. Misalnya dalam perkara perceraian, sebelum perkara pokok diputuskan, istri minta dibebaskan kewajiban untuk tinggal bersama dengan suaminya
2.      Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu.
Perkara perdata dapat diperiksa pada 3 (tiga) tingkatan pemeriksaan, yaitu :
·         Pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan HIR (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk derah Pulau Jawa dan Madura) dan RBg (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura).
·         Pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Tinggi, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan Undang – Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura serta RBg (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura).
·         Pemeriksaan tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan Undang – Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
            Putusan akhir menurut sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu putusan condemnatoir, putusan constitutief, dan putusan declaratoir.
·         putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi. Hak perdata penggugat yang dituntutnya terhadap tergugat, diakui kebenarannya oleh hakim. Amar putusan selalu berbunyi “Menghukum …. dan seterusnya”
·         putusan constitutief adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum yang baru. Misalnya, putusan yang membatalkan suatu perjanjian, menyatakan pailit, memutuskan suatu ikatan perkawinan, dan sebagainya. Amar putusan berbunyi : “Menyatakan … dan seterusnya.”
·         putusan declaratoir adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Misalnya, perjanjian antara penggugat dan tergugat dinyatakan sah menurut hukum dan sebagainya. Amar putusannya selalu berbunyi : “Menyatakan … sah menurut hukum.”
BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan

Dasar Hukum pengajuan Upaya Hukum Banding mula-mula diatur dalam ps 188 s/d 294 HIR. Tetapi dengan adanya ps 3 jo 5 UUDar 1/1951, pasal – pasal tersebut tidak berlaku lagi, yang sekarang berlaku adalah UU No. 20/1947 untuk jawa madura dan ps 199 s/d 205 Rbg untuk daerah luar jawa dan madura. Bagi para pihak yang tidak puas dengan putusan hakim dapat mengajukan upaya hukum banding. Lazimnya yang mengajukan banding adalah pihak yang dikalahkan. Dalam perkara banding ini timbul istilah Pembanding bagi yang mengajukan banding sedangkan lawannya dinamakan Terbanding. Pernyataan banding ini harus diajukan dalam jangka waktu 14 hari terhitung mulai sehari setelah tanggal putusan hakim (pasal 7 UU No. 20/1947, 199 Rbg) atau diberitahukannya putusan kepada pihak yang bersangkutan.
Hasil sidang banding tersebut merupakan putusan Pengadilan Tinggi yang amarnya dapat berupa :
1.     menguatkan putusan Pengadilan Negeri
2.     membatalkan putusan Pengadilan Negeri
3.      mengadili sendiri












Daftar Pustaka


Ø  Rambe, Ropaun, Hukum Acara Perdata Lengkap,  Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan kedua, September 2003.
Ø  Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Cetakan kedua, Mahkamah Agung RI, 1993, hlm. 355.
Ø  Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal.161.
Ø  Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Pernyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 888-889.


[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2002, hal 225.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar