BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dasar Hukum
pengajuan Upaya Hukum Banding mula-mula diatur dalam ps 188 s/d 294 HIR. Tetapi
dengan adanya ps 3 jo 5 UUDar 1/1951, pasal – pasal tersebut tidak berlaku
lagi, yang sekarang berlaku adalah UU No. 20/1947 untuk jawa madura dan ps 199
s/d 205 Rbg untuk daerah luar jawa dan madura. Bagi para pihak
yang tidak puas dengan putusan hakim dapat mengajukan upaya hukum banding.
Lazimnya yang mengajukan banding adalah pihak yang dikalahkan. Dalam perkara
banding ini timbul istilah Pembanding bagi yang mengajukan banding sedangkan
lawannya dinamakan Terbanding. Pernyataan banding ini harus diajukan dalam
jangka waktu 14 hari terhitung mulai sehari setelah tanggal putusan hakim
(pasal 7 UU No. 20/1947, 199 Rbg) atau diberitahukannya putusan kepada pihak
yang bersangkutan.
Pihak yang
mengajukan banding (Pembanding) harus mengajukan memori banding yang kemudian
ditanggapi oleh pihak lawan (Terbanding) dengan mengirimkan kontra memori
banding. Pengiriman memori banding dan kontra memori banding yang ditujukan
kepada ketua pengadilan tinggi dikirimkan lewat Kepaniteraan Pengadilan Negeri
yang dulu memutuskan perkara yang bersangkutan. Perlu diketahui pula bahwa
dalam memori dan kontra memori banding disebutkan kedudukan para pihak sewaktu
berperkara di Pengadilan Negeri misalnya pihak Penggugat yang mengajukan
banding, maka ia menyebut dirinya sebagai “Pembanding semula Penggugat” dan
lawannya disebut “Terbanding semula Tergugat” bila yang mengajukan banding
pihak Tergugat maka ia menyebutkan dirinya sebagai “Pembanding semula Tergugat”
dan lawannya disebut “ Terbanding semula Penggugat”
Hasil sidang
banding tersebut merupakan putusan Pengadilan Tinggi yang amarnya dapat berupa
:
1.
menguatkan putusan Pengadilan Negeri
2.
membatalkan putusan Pengadilan Negeri
3.
mengadili
sendiri
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peraturan Tentang Banding
v Dasar Hukum dan
Tentang Banding
Upaya hukum
banding diadakan oleh pembuat undang-undang karena dikhawatirkan bahwa hakim
yang adalah manusia biasa membuat kesalahan dalam menjatuhkan keputusan. Karena
itu dibuka kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan
banding kepada pengadilan tinggi[1]. Menurut
ketentuan pasal 3 UU darurat No. 1 tahun 1951 peraturan hukum acara perdata
untuk pemeriksaan ulangan atau banding pada pengadilan tinggi adalah
peraturan-peraturan tinggi dalam daerah Republik Indonesia dahulu itu.
Peraturan-peraturan yang digunakan dalam daerah RI dahulu adalah:
1.
untuk pemeriksaan ulangan atau banding perkara
perdata buat pengadilan tinggi di Jawa dan Madura adalah undang-undang No. 20
Tahun 1947.
2.
untuk pemeriksaan ulangan atau banding perkara
perdata buat pengadilan tinggi di luar Jawa dan Madura adalah
rechtsterglement voor debuitengewesten (RBG) pasal
199-205.
Syarat untuk dapat dimintakan banding bagi
perkara yang telah diputus oleh pengadilan dapat dilihat dalam pasal 6 UU
No.20/1947 yang menerangkan, apabila besarnya nilai gugat dari perkara yang
telah diputus itu lebih dari Rp.100,- atau kurang. Oleh salah satu pihak dari
pihak-pihak yang berkepentingan dapat diminta supaya pemeriksaan itu diulangi
oleh pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing. Dasar
hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Pokok
Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan. Permohonan banding harus
diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan (pasal 7 UU
No 20/1947).
Urutan banding menurut pasal 21 UU No 4/2004
jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabut ketentuan pasal 188-194 HIR, yaitu:
1.
ada pernyataan ingin banding
2.
panitera membuat akta banding
3.
dicatat dalam register induk perkara
4.
pernyataan banding harus sudah diterima oleh
terbanding paling lama 14 hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat.
5.
pembanding dapat membuat memori banding,
terbanding dapat mengajukan kontra memori banding.
B.
Syarat Dan
Prosedur Banding
v Permohonan
Banding
Permohonan banding dapat diajukan dalam waktu
14 (empat belas) hari setelah putusan diucapkan, atau setelah diberitahukan,
dalam hal putusan tersebut diucapkan diluar hadir. Terhadap permohonan banding
yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut diatas, tetap dapat diterima
dan dicatat dengan membuat surat keterangan Panitera, bahwa permohonan banding
telah lampau. Pernyataan banding dapat diterima, apabila panjar biaya perkara
banding yang ditentukan dalam SKUM oleh Meja Pertama, telah dibayar
lunas.Apabila panjar biaya banding yang telah dibayar lunas, maka Pengadilan
wajib membuat akta pernyataan band ing, dan mencatat permohonan banding
tersebut dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding.
Permohonan banding dalam waktu 7 (tujuh) hari
harus telah disampaikan kepada lawannya. Tanggal penerimaan memori dan kontra
memori band ing harus dicatat, dan salinannya disampaikan kepada masing-masing
lawannya, dengan membuat relas pemberitahuan/ penyerahannya. Sebelum berkas
perkara dikirim ke Pengadilan Tinggi, harus diberikan kesempatan kepada kedua
belah pihak untuk mempelajari/memeriksa berkas perkara (inzage) dan dituangkan
dalam akta.
Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
permohonan banding diajukan, berkas banding berupa berkas A dan B harus sudah
dikirim ke Pengadilan Tinggi. Biaya perkara banding untuk Pengadilan Tinggi
harus disampaikan melalui Bank Pemerintah atau Kantor Pos, dan tanda bukti
pengiriman uang harus dikirim bersamaan dengan pengiriman berkas yang
bersangkutan[2].
Dalam menentukan biaya banding harus diperhitungkan:
a.
biaya pencatatan pernyataan banding,
b.
besarnya biaya banding yang ditetapkan oleh
Ketua Pengadilan Tinggi,
c.
biaya pengiriman uang melalui Bank/Kantor Pos,
d.
ongkos kirim berkas,
e.
biaya pemberitahuan, berupa:
a)
biaya pemberitahuan akta banding.
b)
biaya pemberitahuan memori banding.
c)
biaya pemberitahuan kontra memori banding.
d)
biaya pemberitahuan memeriksa berkas bagi
pembanding.
e)
biaya pemberitahuan memeriksa berkas bagi
terbanding.
f)
biaya pemberitahuan bunyi putusan bagi
pembanding.
g)
biaya pemberitahuan bunyi putusan bagi
terbanding.
v Pendaftaran
Banding
1.
Berkas perkara diserahkan pada Panitera Muda
Perdata sebagai petugas pada meja/loket pertama, yang menerima
pendaftaran terhadap permohonan banding.
2.
Permohonan banding dapat diajukan di
kepaniteraan pengadilan negeri dalam waktu 14 hari kalender terhitung keesokan
harinya setelah putusan diucapkan atau setelah diberitahukan kepada pihak yang
tidak hadir dalam pembacaan putusan. Apabila hari ke 14 jatuh pada hari Sabtu,
Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 jatuh pada hari kerja
berikutnya.
3.
Terhadap permohonan banding yang diajukan
melampaui tenggang waktu tersebut di atas tetap dapat diterima dan dicatat
dengan membuat surat keterangan panitera bahwa permohonan banding telah lampau.
4.
Panjar biaya banding dituangkan dalam SKUM,
dengan peruntukan:
1)
Biaya pencatatan pernyataan banding.
2)
Biaya banding yang ditetapkan oleh ketua
pengadilan tinggi ditambah biaya pengiriman ke rekening pengadilan tinggi.
3)
Ongkos pengiriman berkas
4)
Biaya pemberitahuan (BP)
5.
SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dibuat dalam
rangkap tiga:
1)
lembar pertama untuk pemohon.
2)
lembar kedua untuk kasir
3)
lembar ketiga untuk dilampirkan dalam berkas
permohonan.
6.
Menyerahkan berkas permohonan banding yang
dilengkapi dengan SKUM kepada yang pihak bersangkutan agar membayar uang panjar
yang tercantum dalam SKUM kepada pemegang kas pengadilan negeri.
7.
Pemegang kas setelah menerima pembayaran
menandatangani, membubuhkan cap stempel lunas pada SKUM.
8.
Pemegang kas kemudian membukukan uang panjar
biaya perkara sebagaimana tercantum dalam SKUM pada buku jurnal keuangan
perkara.
9.
Pernyataan banding dapat diterima apabila
panjar biaya perkara banding yang ditentukan dalam SKUM oleh meja pertama telah
dibayar lunas.
10. Apabila panjar biaya banding yang telah
dibayar tunas maka pengadilan wajib membuat akta pemyataan banding dan mencatat
permohonan banding tersebut dalam register induk perkara perdata dan register
permohonan banding.
11. Permohonan
banding dalam waktu 7 hari kalender harus telah disampaikan kepada lawannya,
tanpa perlu menunggu diterimanya memori banding.
12. Tanggal
penerimaan memori dan kontra memori banding harus dicatat dalam buku register
induk perkara perdata dan register permohonan banding, kemudian salinannya
disampaikan kepada masing- masing lawannya dengan
membuatrelaaspemberitahuan/penyerahannya.
13. Sebelum berkas
perkara dikirim ke pengadilan tinggi harus diberikan kesempatan kepada kedua
belah untuk mempelajari/memeriksa berkas perkara (inzage)
dan dituangkan dalam Relaas.
14. Dalam waktu 30
hari sejak permohonan banding diajukan, berkas banding berupa berkas A dan B
harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi.
15. Biaya perkara
banding untuk pengadilan tinggi harus disampaikan melalui Bank
pemerintah/kantor pos, dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim bersamaan
dengan pengiriman berkas yang bersangkutan.
16. Pencabutan
permohonan banding diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani
oleh pembanding (harus diketahui oleh prinsipal apabila permohonan banding
diajukan oleh kuasanya) dengan menyertakan akta panitera.
17. Pencabutan
permohonan banding harus segera dikirim oleh Panitera ke Pengadilan Tinggi
disertai akta pencabutan yang ditandatangani oleh Panitera.
C.
Pemeriksaan
Pada Tingkat Banding
Ø Pasal 339
Pemeriksaan
dalam tingkat banding dimulai dengan suatu pemanggilan untuk menghadap di
sidang yang bentuk dan caranya sama dengan
pemeriksaan dalam tingkat pertama tanpa harus menyebutkan alasan-alasan
yang menjadi dasar permohonan banding maupun tanpa harus melampirkan
turunan-turunan surat-surat anding maupun tanpa harus melampirkan
turunan-turunan surat-surat ang bersangkutan, kecuali dalam hal pemanggilan itu
mengandung tuntutan baru yang diperbolehkan oleh Pasal 344. Semua itu
diberitahukan dengan cara yang sama.
Pasal 10 alinea
terakhir berlaku juga bagi penggugat pembanding. Surat permohonan yang
bersangkutan harus disampaikan ke paniteraan H.G.H. sebelum jangka waktu yang
ditentukan habis.
Hari
pengajuan surat permohonan berlaku sebagai hari permulaan pemeriksaan tingkat
banding dan dicatat oleh panitera H.G.H. dalam surat permohonan tersebut dan
kemudian segera dengan surat tercatat diberitahukan kepada pihak terbanding.
H.G.H. tidak
akan memperhatikan permohonan banding tersebut jika tidak diajukan dalam jangka
waktu seperti tersebut dalam alinea kedua kepada panitera.
Ketentuan-ketentuan
dalam Bagian 7 Bab 1 buku ini berlaku juga dalam tingkat banding.
D.
Putusan Pengadilan Banding
Putusan
Pengadilan dibedakan atas 2 (dua) macam (Pasal 185 ayat (1)
HIR/Pasal 196 ayat (1) RBg), yaitu putusan sela (tussenvonnis) dan putusan
akhir (eindvonnis).
1. Putusan
Sela
Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir
yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan
pemeriksaan perkara. Misalnya, putusan sela Pengadilan Negeri
terhadap eksepsi mengenai tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu
perkara.
Dalam
Pasal 190 ayat (1) HIR/Pasal 201 ayat (1) RBg menentukan bahwa :
“Putusan sela hanya
dapat dimintakan banding bersama-sama permintaan banding
terhadap putusan akhir”
Dalam
Hukum Acara Perdata dikenal beberapa putusan sela, yaitu preparatoir,
interlocutoir, incidentieel, dan provisioneel.
·
Putusan preparatoir adalah
putusan persidangan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan
segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir. Misalnya, putusan
untuk menolak pengunduran pemeriksaan saksi.
·
Putusan interlocutoir adalah
putusan yang isinya memerintahkan pembuktian. Misalnya putusan untuk memeriksa
saksi atau pemeriksaan setempat. Karena putusan ini menyangkut masalah
pembuktian, maka putusan interlocutoir akan mempengaruhi
putusan akhir
·
Putusan incidentieel adalah putusan
yang berhubungan dengan insident, yaitu peristiwa
yang menghentikan prosedur peradilan biasa. Putusan inipun
belum berhubungan dengan pokok perkara, seperti putusan yang membolehkan
seseorang ikut serta dalam suatu perkara (vrijwaring, voeging, dan tussenkomst)
·
Putusan provisioneel adalah putusan
yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara
agar diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum
putusan akhir dijatuhkan. Misalnya dalam perkara perceraian, sebelum perkara
pokok diputuskan, istri minta dibebaskan kewajiban untuk tinggal bersama dengan
suaminya
2. Putusan
Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada
tingkat pemeriksaan tertentu.
Perkara
perdata dapat diperiksa pada 3 (tiga) tingkatan pemeriksaan, yaitu :
·
Pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, pada
tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan HIR (Hukum Acara
Perdata yang berlaku untuk derah Pulau Jawa dan Madura) dan RBg (Hukum
Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura).
·
Pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Tinggi, pada
tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan Undang – Undang No. 20
Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura serta RBg (Hukum
Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura).
·
Pemeriksaan tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung, pada tingkatan ini pemeriksaan
perkara perdata menggunakan Undang – Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
Putusan akhir menurut sifat amarnya
(diktumnya) dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu putusan condemnatoir,
putusan constitutief, dan putusan declaratoir.
·
putusan condemnatoir adalah putusan yang
bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi. Hak perdata
penggugat yang dituntutnya terhadap tergugat, diakui kebenarannya oleh hakim.
Amar putusan selalu berbunyi “Menghukum …. dan seterusnya”
·
putusan constitutief adalah putusan yang
menciptakan suatu keadaan hukum yang baru. Misalnya, putusan yang membatalkan
suatu perjanjian, menyatakan pailit, memutuskan suatu ikatan perkawinan, dan
sebagainya. Amar putusan berbunyi : “Menyatakan … dan seterusnya.”
·
putusan declaratoir adalah putusan yang
menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum.
Misalnya, perjanjian antara penggugat dan tergugat dinyatakan sah menurut hukum
dan sebagainya. Amar putusannya selalu berbunyi : “Menyatakan … sah menurut
hukum.”
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dasar Hukum pengajuan
Upaya Hukum Banding mula-mula diatur dalam ps 188 s/d 294 HIR. Tetapi dengan
adanya ps 3 jo 5 UUDar 1/1951, pasal – pasal tersebut tidak berlaku lagi, yang
sekarang berlaku adalah UU No. 20/1947 untuk jawa madura dan ps 199 s/d 205 Rbg
untuk daerah luar jawa dan madura. Bagi para pihak
yang tidak puas dengan putusan hakim dapat mengajukan upaya hukum banding.
Lazimnya yang mengajukan banding adalah pihak yang dikalahkan. Dalam perkara
banding ini timbul istilah Pembanding bagi yang mengajukan banding sedangkan
lawannya dinamakan Terbanding. Pernyataan banding ini harus diajukan dalam
jangka waktu 14 hari terhitung mulai sehari setelah tanggal putusan hakim
(pasal 7 UU No. 20/1947, 199 Rbg) atau diberitahukannya putusan kepada pihak
yang bersangkutan.
Hasil sidang
banding tersebut merupakan putusan Pengadilan Tinggi yang amarnya dapat berupa
:
1.
menguatkan putusan Pengadilan Negeri
2.
membatalkan putusan Pengadilan Negeri
3.
mengadili
sendiri
Daftar Pustaka
Ø Rambe, Ropaun, Hukum Acara Perdata Lengkap, Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan kedua,
September 2003.
Ø Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Cetakan kedua, Mahkamah
Agung RI, 1993, hlm. 355.
Ø Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara
Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal.161.
Ø Harahap, M. Yahya, Hukum Acara
Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Pernyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal 888-889.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar